Rabu, 09 Desember 2009

PUTUSAN HAKIM

Dalam mengambil putusan biasanya adalah hakim, tanpa hakim maka suatu perkara atau sengketa tidak akan bisa diselesaikan/diputuskan. Untuk itu bagi hakim yang mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat yang menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya justru lain penyelesaiannya. Contohnya adalah; sebuah mobil tabrakan, dengan sepeda motor. Pengendara mobil dan motor saling menyalahkan. “Saudara tidak menurut peraturan” kata yang satu. Yang satu lagi menjawab; “tidak mungkin”, tetapi saya tidak dapat menurut peraturannya. Karena perbuatan saudara saya terpaksa berbuat apa yang saya telah lakukan”. Hakim akhirnya akan menemukan kesalahan dengan menilai peristiwa itu keseluruhannya. Di dalam peristiwa itu sendiri tersimpul hukumnya.

Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa yang berarti bahwa hakim telah dapat mengkonstatir peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Ia harus menemukan hukumnya, ia harus mengkualifisir peristiwa dianggapnya terbukti.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai Pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim dipersidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonis).
Dalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis dan gewijsde. Yang mana dimaksud dengan vonnis (sering disebut voorlopig gewijsde) adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde (uiterlijk gewijsde) adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus.


Kekuatan Putusan

HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim, ada tiga macam kekuatan yang terdapat pada putusan hakim yaitu:
1. Kekuatan yang Mengikat (bindende kracht)
Kekuatan yang mengikat ini adalah suatu kemestian yang praktis berhubung dengan tujuan acara perdata, yaitu untuk menentukan bagaimana pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah pihak. Untuk menentukan hukum menguasai soal yang menjadi perkara itu.
Untuk dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya pada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau di adili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.
2. Kekuatan Bukti (bewijsende kracht)
Dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi dan pelaksanaannya.
Pengaturan kekuatan pembuktian dalam putusan pidana (pasal 1918 dan 1919 BW), mengatur sebagai putusan pidana yang isinya menhukum dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata mengenai peristiwa yang telah terjadi, kecuali apabila ada bukti lawan, kekuatan pembuktiannya mengikat (ps. 1918 BW), dan apabila seseorang dibebaskan dari segala tuduhan, maka putusan pembebasan itu tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata untuk minta ganti kerugian (ps. 1919 BW).
Kalau kekuatan pembuktian putusan pidana diatur dalam pasal 1918 dan 1919 BW, maka kekuatan putusan pembuktian perdata tidak ada ketentuannya. Putusan perdata pun mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana diserahkan kepada pertimbangan hakim.

3. Kekuatan Eksekutorial/Kekuatan untuk di Jalankan (executoriale kracht)
Kekuatan eksekutorial adalah suatu putusan di maksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa atau menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Maka dari itu apa yang telah ditentukan oleh hakim dalam putusannya maka harus dilaksanankan walaupun banyak orang yang membantahnya. Kekuatan eksetorial putusan hakim tidak dapat dilumpuhkan, kecuali apabila telah dipenuhi dengan sukarela.

Jenis-jenis Putusan
Di jelaskan pada pasal 185 ayai 1 HIR (ps. 196ayat 1 Rbg) membedakan antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat:
1. Menghukum (condemnatoir)
Adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
2. Menciptakan (constitutive)
Adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberi pengampunan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian dan sebagainya.
3. Menerangkan atau Menyatakan (declaratoir)
Adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Disamping putusan akhir masih dikenal putusan yang bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara, yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara.

Upaya Hukum Terhadap Putusan
Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yang mana upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Sifat dan berlakunya upaya hukum itu berbeda, tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa.
Upaya hukum biasa pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Adapun upaya hukum biasa ialah:
1. Perlawanan (verzet)
Adalah upaya hukum terhadap putusan yan dijatuhkan diluar hadirnya tergugat (ps. 125 ayat 3 jo. 129 HIR, 149 ayat 3 jo. 153 Rbg).
2. Banding
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri, karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding.
3. Prorogasi
Adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi.
4. Kasasi
Adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir (ps. 29, 30 UU no. 14 tahun 1985S).
5. Perlawanan Pihak Ketiga
Pada azasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga, akan tetapi apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (ps. 378 RV).

Maka dari itu dalam pengambilan keputusan berbagai cara yang dilakukan namun sulit untuk diputuskan jika tidak kuatnya bukti-bukti atau sanksi-sanksi yang dapat mempermudah berjalannya persidangan. Dalam memutuskan putusan benar atau salahnya suatu sengketa atau gugatan, hanya hakimlah yang dapat putuskan sengketa atau gugatan tersebut, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.
sumbernya: dari buku Hukum Perdata dan Pidana
by: EDy ,

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com