Rabu, 09 Desember 2009

HAL PEMBUKTIAN

Dalam acara pengadilan banyak hal-hal pokok yang perlu dilakukan guna mewujutkan berjalan lancarnya acara pengadilan terutam pembuktian sebuah bukti dalam acara untuk diperlihatkan.
Pasal 163 menentukan, bahwa barang siapa mengaku mempunyai hak atau mengajukan suatu peristiwa untuk menguatkan pengakuan haknya atau untuk membantah haknya orang lain, maka orang itu harus membuktikan benar adanya hak atau peristiwa itu.
Dalam pembuktian ini, sebagai contoh dijelaskan pada pasal 163 dan pasal-pasal berikut dari Reglement Indonesia mengoper ajaran beban pembuktian dari huum Acara Perdata Eropah kepada lapangan hukum acara perdata dimuka Pengadilan Negeri (Landraad). Meskipun demikian, antara proses perdata berdasar Reglement Burg dan proses perdata Reglemen Indonesia ada perbedaan besar berhubung dengan perbedaan kedudukan hakim di Raad Justisi dahulu dan hakim di Pengadilan Negeri. Hakim di Raad Justisi bersifat pasif sedang hakim di Pengadilan Negeri bersifat aktif, yang dengan sendirinya mempengaruhi jalannya permbuktian.

Tugas hakim ialah menyelidiki apakah hubungan-hubungan yang menjadi perkara itu, benar-benar ada atau tidak. Hubungan hukum ialah harus terbukti dimuka hakim dan tugas dua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang di perlukan oleh hakim.
Jadi untuk dapat mengkonstantir peristiwa, maka peristiwa itu harus di buktikan kebenarannya, diluar yang telah dikemukakan diatas maka semua peristiwa lainnya harus di buktikan.

Apakah yang Dimaksud dengan Pembuktian ?
Membuktikan mengandung beberapa pengertian, namun kita mengambil arti yang secara luasnya saja yaitu membuktikan ialah membenarkan hubungan hukum, seperti misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat, pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan, bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat, adalah benar.jadi berhubung dengan itu maka membuktikan juga adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
Dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan. Kebenarannya yang tidak dibantah itu tidak perlu diselidiki. Yang harus memberi bukti ialah pihak yang wajib membenarkan apa yang dikemukakannya, jikalau ia berkehendak, bahwa ia tidak akan kalah perkaranya, dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian beban pembuktian.

Tujuan Pembuktian
Sudah jelas apa yang telah diketengahkan dimuka bahwa membuktikan bearti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstantir peristiwa, mengkwalifisirnya dan kemudian mengkonstintuir, maka tujan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Walaupun putusan itu diharuskan obyektif, namun hal pembuktian dibedakan antara pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas mensyaratkan adanya keyakinan.

Apa yang Harus dibuktikan ?
Yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak akan tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim.

Siapa yang Harus membuktikan ?
Dalam mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstantir peristiwanya adalah hakim. Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstantir oleh hakim setelah dianggapnya terbukti benar kalau hakim yang harus mengkonstantir peristiwanya, yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang berkepentingan di dalam perkara atau sengketa, berkentingan bahwa gugatan dikabulakn atau ditolak. Yang berkepentingan tidak lain adalah pihak, yaitu penggugat atau tergugat. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan bukan hakim.



Apa saja Alat-alat Bukti Tersebut ?
Dalam pasal 164 Reglemen Indonesia menyebutkan alat bukti yaitu:
1. Pembuktian dengan surat-surat/tertulis
2. Keterangan saksi-saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan dan
5. Sumpah
Alat-alat bukti lain dalam Reglemen Indonesia masih ada selain yang disebutkan dari pasal 164 yang mana disebutkan oleh pasal 153 yaitu Pemeriksaan ditempat, yang diperintahkan oleh hakim.
Dalam memahami segala hal pembuktian maka akan dijelaskan secara rinci bahwa kewenangan hakim dalam menentukan apa yang harus dibuktikan dan pihak mana yang harus memberi bukti (penggugat atau tergugat), dalam hal ini akan menanggung resiko tentang pembuktian.

Persangkaan dan Kekuatannya
Pada pasal 164 Reglemen Indonesia menyebutkan persangkaan sebagai alat pembuktiaan sedangkan pada pasal 173 menjelaskan bahwa persangkaan-persangkaan saja yang tidak berdasar pada suatu peraturan undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh hakim, apabila persangkaan itu penting, seksama, tentu dan sesuai yang satu dengan yang lain.
Persangkaan-persangkaan sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, terserah kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh ia akan memberi kekuatan bukti kepada persangkaan-persangkaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.
Dengan disebutkannya persangkaan sebagai salah satu alat pembuktian, maka pada hakekatnya undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk memakai segala bahan yang diketahui pada sidang Pengadilan sebagai alat pembuktian guna menentukan putusannya.
Sikap pijhak yang berperkara di sidng pengadilan, misalnya hanya tidak memenuhi perintah hakim untuk menyerahkan bukti atau jawaban yang tidak tegas dan sebagainya. Dapat saja menimbulkan persangkaan kontra pihak tersebut dipengadilan.

by: Edy

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com