Selasa, 15 Desember 2009

HMI DALAM MEMBANGUN MASA DEPAN BANGSA

1. Islam sebagai sumber kebenaran
Hmi sebagai sebuah organisasi yang cukup berperan dalam membangun bangsa dan sekaligus menjalankan syiar islam diharapkan mampu menciptakan kader-kader yang berkwalitas yang mempunyai komitmen terhadap tiga pilar: keislaman, kebangsaan dan kemahasiswaan, ini tidak terlepas dari eksistensi HMI selama ini, dengan kompleksitas tantangan internal maupun problem external yang muncul seiring dengan perkembangan zaman,sehingga diharapkan HMI tetap survive sebagai organisasi yang berwibawa dengan wadah kader pemimpin masa depan bangsa,

Bahwa tujuan HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap Anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai Insan Cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI. Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI sebagaimana yang diatur dalam AD HMI, serta untuk setiap anggota HMI harus mampu mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen.dan ini sangat mempengaruhi dalam melakukan setiap perjuanganya untuk menjaga konsistensi dan kontinuitas gerakan, maka perjuangan yang dilakukan setiap kader HMI secara individu maupun secara institusi harus senantiasa berpegang pada independensi organisasi (independensi etis dan independensi organisatoris). Independensi bagi HMI merupakan karakter kepribadian yang implementasinya terwujud didalam bentuk pola pikir, pola sikap dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Mission" HMI dalam kiprah hidup berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tanpa menafikan bahwa Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya., kesempurnaan hidup terukur dari keberadaan manusia yang integrative dan bisa menyeimbangkan antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara induvidual maupun kolektif.
2. HMI, organisasi kader dan perjuangan
Kehadiran dan keberadaan HMI, selain berstatus sebagai organisasi mahasiswa berfungsi sebagai organisasi kader serta berperan sebagai organisasi perjuangan yang dengan kesungguhan berjuang untuk melakukan perubahan terhadap segala tatanan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan kontemporer, sehingga tercipta suasana baru yang belum pernah terjadi sebelumya, maka sepanjang keberadaan HMI tugasnya adalah untuk melakukan perombakan perubahan perbaikan penyempurnaan terhadap segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kearah yang lebih baik
Tujuan, jelas diperlukan oleh suatu organisasi sehingga setiap usahanya yang dilakukannya dapat dilaksanakan secara terencana, teratur, terarah dan sistematis. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh motivasi dasar pembentukannya, status, sifat, fungsi dan perannya secara integral dalam totalitas dimana ia berada.
Islam bagi HMI adalah sebagai sumber nilai, motivasi, inspirasi. Keyakinan akan kebenaran Islam menjadikan HMI secara sadar memilih Islam sebagai asasnya (vide Pasal 3 AD). Oleh karenanya Islam bagi HMI merupakan pijakannya dalam menetapkan tujuan. Status HMI sebagai organisasi mahasiswa (vide Pasal 7 AD) memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Spesialisasi inilah yang disebut dengan fungsi HMI yakni sebagai organisasi kader (vide Pasal 8 AD), karena mahasiswa adalah kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri dalam menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa dan generasi yang akan datang. Maka fungsi kaderisasi mahasiswa merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai kelompok elit, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar, karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis, mahasiswa kemudian berperan sebagai moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi social control. Untuk itu, mahasiswa harus bersikap independen dan hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan serta obyektifitas. HMI yang melakukan fungsi kaderisasi mahasiswa pun harus menjiwai dan dijiwai sifat independen (vide Pasal 6 AD). Fungsi kaderisasi dalam membentuk apa yang disebut HMI sebagai insan cita (insan kamil ala HMI) tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya, yakni kehidupan yang seimbang dan terpadu antara jasmani dan ruhani, akal dan kalbu, individu dan masyarakat, iman dan ilmu, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan ukhrowi. Demi mencapai kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya itu, maka dibutuhkan sebuah kerja kemanusiaan (amal shaleh), yang tertuang dalam peran HMI sebagai organisasi perjuangan (vide Pasal 9 AD), yakni peran yang diemban dalam melakukan internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi nilai-nilai ke-Islaman. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana dengan benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahua
Dalam Anggaran Dasar, Pasal 8 dikatakan bahwa "HMI berfungsi sebagai organisasi kader". Dalam pedoman perkaderan dikatakan bahwa, Kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. Hal ini dijelaskan dalam ciri-ciri komulatif seorang kader HMI, yaitu: Pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan main organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. Dari segi nilai, aturan itu adalah NDP, sedang dari segi operationalisasi organisasi adalah AD/ART HMI, pedoman perkaderan, dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. Kedua, seorang kader memiliki komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot yang dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. Keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan social engineering.
Sedang dalam Pasal 9 Anggaran dasar disebutkan "HMI berperan sebagai organisasi perjuangan". Sebagaimana di atas, baik secara organisatoris maupun etis adalah kewajiban bagi kader HMI untuk komit terhadap Islam dan HMI adalah alatnya, alat perjuangan untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-Islaman yang membebaskan (liberation force), dan memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin (dhu’afa) dan kaum tertindas (mustradzafin). Perubahan bagi HMI merupakan keharusan, demi tercapainya idealisme ke-Islaman, maka HMI bertekad menjadikan Islam sebagaiu doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transendental, humanis, dan inklusif. Dengan demikian Kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilanserta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki.
Jelaslah kiranya bahwa dalam rumusan tujuan HMI yang tadi kita katakan terbagi dua yakni "insan cita" dan "masyarakat cita" secara eksplisit berbicara tentang fungsi perkaderan dan peran perjuangan. Dan tujuan HMI tidak akan pernah tercapai bila dalam prosesnya tidak sinambung antara keduanya. Fungsi dan peran adalah dua sisi mata koin (two side of coin) tujuan. Bahwa mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita, kata Kang Jalal, maka akan muspro berbicara sosial jika masalah personal masih saja menggerogoti kita. Dalam bahasa kita sehari hari, internalisasi dahulu baru ekternalisasi atau obyektifikasi, pengabdian mengharap ridho-Nya.
. Karena inilah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal shaleh). Pengabdian dalam bentuk kerja kemanusiaan inilah hakekat tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.
Bahwa tujuan HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap Anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai Insan Cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI. Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI sebagaimana yang diatur dalam AD HMI, serta untuk setiap anggota HMI harus mampu mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen.dan ini sangat mempengaruhi dalam melakukan setiap perjuanganya
HMI pada hakekatnya bukanlah organisasi massa dalam artian kuantitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan idea, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif. Dari rumusan itu pula dapat dibagi menjadi dua, yakni Insan Cita dan Masyarakat Cita.
Insan Cita HMI adalah merupakan dunia cita, ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI dalam pribadi seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Dalam Tafsir Tujuan HMI, insan cita memiliki beberapa 17 kualitas pribadi, yang pada pokoknya merupakan gambaran "man of future", insan pelopor yaitu insane yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatijf bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah "man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara "idea of progress". Insane yang berkepribadian imbang yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil)
Masyarakat Adil dan Makmur yang diridhoi Allah SWT. Adalah gambaran sederhana HMI tentang tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya, dicita-citakannya, masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai baldatun toyibbatun wa robbun ghafur yang merupakan fungsi dari Insan Cita yang akan dikader oleh HMI. Masyarakat cita yang ingin diwujudkan HMI itu juga senada dengan apa yang ingin menjadi cita-cita kemerdekaan oleh Bung-bung Besar pendiri Republik ini, yakni masyarakat yang bebas dari bermacam bentuk belenggu penindasan, masyarakat yang berdaulat, masyarakat yang berdaya, mampu dan mandiri serta dapat menentukan hidupnya sendiri, masyarakat yang menjadi cita-cita kemerdekaan sebagaimana tujuan dari kemerdekaan bukanlah kemerdekaan itu sendiri, dimana bila merujuk pada bahasa preambule konstitusi kita, Pembukaan UUD 1945 yaitu perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia masih sampai sebatas mengantarkan rakyat pada "pintu gerbang" satu tatanan masyarakat "Adil dan Makmur" untuk itu syarat mutlaknya adalah penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, Indonesia bisa berkehidupan kebangsaan yang bebas dst..dst... dengan begitu jelas bahwa masyarakat cita ini berada di dalam Republik Indonesia, dan tujuan HMI hanya dapat direalisasikan oleh mereka yang disebut "kader" dan itu tidaklah berhenti pada masa keanggotaan seorang mahasiswa.


Oleh Niam mubarok

Baca selengkapnya......

Kemerdekaan Manusia (IkhtiarManusia) dan Keniscayaan Universal (Taqdir Ilahi)

Landasan dan Kerangka Berpikir

Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?

Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.


Dasar-dasar Kepercayaan

Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilkinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia  yang terbatas-tidak sempurna-tergantung  memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatau itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama ,walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab,bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik.Namun,kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “ Tuhan “ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan ( pencipta / khaliq ). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia ( Yang diciptakan / makhluq ). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar “. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal ( Intelect ) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.


Hakekat Penciptaan dan Ekskatologi (Ma’ad)

Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?.
Untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia. 


Dasar - Dasar Kemanusiaan

Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan sepanjang peradaban kemanusiaan manusia tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (Qs 2 : 30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/termanifestasikan pada dirinya (Qs 33 : 21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (Qs 68 : 4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang.
Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS. 6 :112).


Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar Manusia) dan Keniscayaan Universal (Taqdir Ilahi)

Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (Quran S. 2 : 30) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertetu atau sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari.
Namum bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan - pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan - pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal - hal ideal ataupun keharusan - keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan pingsan (takberkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan - keharusan universal (takdir).
Keharusan - keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati) bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab - sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum - hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal. 




Individu dan Masyarakat

Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada
Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (Qs 2 : 30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.


Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi

Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka - mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah. Hal ini karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitas. Namun ia merupakan isu abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi dan kandungan batinnya.
Sesuai dengan konsepnya tentang manusia berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, kapitalisme cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskrimatif serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tiadanya aturan - aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini untuk menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak (yakni kesempatan ekonomi) kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang mengunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya bagi sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya dari kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial / bersama. Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi sebagai polisi atau perawat dalam menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat - alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama).yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat - alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itu sebabnya mengapa ketika seluruh alat - alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari individu - individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis - borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan/ penguasa bagi unit - unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia.
Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata - mata bersifat materialistik ke kesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa berupa mematikan naluri alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan/ kepentingan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang sosialis (bukan sosialisme).
Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia sehingga melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya namun ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas - kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang - wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas - kelas (penduduk pecah belah), (QS : 28 : 4) dengan menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS. 28 : 38 - 39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al- Quran (Qs, 3 : 64)
Adapun di sisi lain penyebab terjadinya yang miskin semakin miskin (ketidak adilan ekonomi) karena tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu kata Qur’an sekiranya mereka sungguh - sungguh menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka (QS. 5 : 66) atau sekiranya penduduk negeri - negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS. 7 : 96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam ; melarang praktek riba, serta tidak menghilangkan konsep zakat, khumus, Jis’ah, sedekah, infak dll), niscaya benar - benar kami akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak, QS. 72 : 16).
Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah - peritah Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti berkat dari langit dan bumi telah tercurahkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, mudharabah, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30 dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum di bawah Bayt Al-mal.


Sains Islam

Sains dalam sejarah perkembangan selalu dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan sains asing terhadap nilai - nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh - contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab diakui bahwa sains memiliki kekuatan yang ambigu, disatu sisi ia dapat mengembang suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah - masalah praktis dan prakmatis manusia, disisi lain ia juga memiliki kemampuan untuk menghancurkan atau merombak nilai - nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep - konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila diperlukan suatu upaya serius oleh kaum pemikir muslim untuk melakukan suatu islamisasi sains terhadap sains - sains modern (sains positivisme) sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai - nilai agama islam dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah apa yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologi islam yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) islam itu sendiri yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat - ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan sains mestilah dihindari. Hal ini karena kebenaran-kebenaran Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains modern juga bersifat materealistik atau positivistik.
Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori lalu dengan ditemukannya penemuan teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat (tadi) yang dipandang cocok dengan teori-teori lalu menjadi dipertanyakan.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ketelinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia muslim (SDM) tidak dengan sains islam.
Hendaknya pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu dengan menetapkan status dan basis ontologinya sangatlah penting, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan adanya status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologinya berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh kaum muslim itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik oleh Agueste Comte disebut Positivistik.
Adapun sains islam menetapkan bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia menetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains islam menyodorkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya yaitu, intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung. Deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika. Induksi, Observasi dan eksperimen untuk mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni serta tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, perbintangan, musik, ilmu tentang gaya, dan keteknikan.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, Binatang dan manusia.
Dalam klasifikasi sains islam kaarena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang sebab sebagai sebab bagi segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika. 



















RUJUKAN AL - QUR’AN

Bab II
Dasar - dasar Kepercayaan


1.

1) Al Qur’an S. Al Ikhlas (112) : 1 - 4

Artinya : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

2. Al Qur’an S. Al Baqarah (2) : 163


Artinya : “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

3. Al Qura S. Al Qashash (28) : 88


Artinya : “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”











4. QS - Al Baqarah (2) : 255

Artinya : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

5. QS - Al Baqarah (2) : 163


Artinya : “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

6. Al Qur’an S. (21) : 108


Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: "Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)".










7. Al Qur’an S. Aal Mu’minuun (23) : 91 - 92


Artinya : “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan.

8. Al Qur’an S. Al Anbiyaa’ (21) : 22


Artinya : “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”.



9. Al Qur’an S. (16) : 51


Artinya : “Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".













Bab III
Eskatologi (Ma’ad)


1. Qur’an S. Al A’raf (7) : 187


Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".

2. Qur’an S. Al Baqarah (2) : 48


Artinya : “Dan jagalah dirimu dari (`azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.

3. Qur’an S. Al Baqarah (2) : 85

Artinya : “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.

4. Qur’an S. Al Baqarah (2) : 165


Artinya : “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

5. Qur’an S Ali Imran (3) : 55

Artinya : “(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai `Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".

6. Qur’an S An Nisa (4) : 109

Artinya : “Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?

7. Qur’an S Almaidah (5) : 14


Artinya : “Dan di antara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan.

































Bab IV
Manusia dan Nilai Kemanusiaan

1. Q.S. Al - Baqarah (2) : 30


Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

2. QS. Al - Ahzab (33) : 21


Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

3.

3) QS. Al - Qalam (68) :4

Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.

4.

4) QS. Al - An’am (6) : 112
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”














































Bab V
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keniscayaan Universal (Taqdir Ilahi)

1. QS - Al Maaidah (5) : 66


Artinya : “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”.

2. Al Quran S. Al Qamar (54) : 49-50



Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata”.

3. Al Quran S. Ar Ra’d (13) : 11


Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.




4. Al Quran S. Al Jaatsiyah (45) : 2-3



Artinya : “Kitab (ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman”.

5. Al Quran S. Al Hadiid (57) : 22


Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.

6. Al Quran S. Al An’aam (6) : 59


Artinya : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.

7. Al Quran S. At Thalaaq (65) : 3


nya : “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu’.
8. Al Quran S. Al Hijr (15) : 21


Artinya : “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.

9. Al Quran S. Ali Imran (3) : 154


Artinya : “Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati”.

10. Al Quran S. Al Qamar (54) : 49


Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.






11. Al Quran S. Ibrahim (14) : 4

Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.

12. Al Quran S. Ali Imran(3) : 26


Artinya : “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

13. Al Quran S. Ar R’d (13) : 11


Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

14. Al Quran S. An Nahl (16) : 112

Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni`mat-ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.

15. Al Quran S. Al Ankabuut (29) : 40



Artinya : “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.

16. Al Quran S. Fush Shilat (41) : 46


Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)”.

17. Al Quran S. Al Insaan (76) : 3


Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”.








18. Al Quran S. Al Kahfi (18) : 29

Artinya : “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.

19. Al Quran S. Ar Ruum (30) : 41


Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

20. Al Quran S. Asy Syuura (42) : 20


Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.

21. Al Quran S. Al Israa’ (17) : 18-20

Artinya : “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi”.












































Bab VI
Individu dan Masyarakat

1. Al Quran S. (2) : 30


Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

2. Al Quran S. (17) : 71


Artinya : “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.


3. Al Quran S. (19) : 20


Artinya : “Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"

4. Al Quran S. (15) : 28


Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.


5. Al Quran S. (19) : 20


Artinya : “Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"

6. Al Quran S. (25) : 7


Artinya : “Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,

7. Al Quran S. (25) : 20


Artinya : “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat”.

8. Al Quran S. (18) : 110



Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".





9. Al Quran S. (14) : 11


Artinya : “Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.

10. Al Quran S. (33) : 72


Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,

11. Al Quran S. (51) : 56


Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
12. Al Quran S. (76) : 1-2


Artinya : “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”.



13. Al Quran S. (29) : 49


Artinya : “Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim”.

14. Al Quran S. (58) : 11


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

15. Al Quran S. (49) : 13


Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

16. Al Quran S. (25) : 54

Artinya : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

17. Al Quran S. (43) : 32


Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

18. Al Quran S. (7) : 172


Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

19. Al Quran S. (38) : 72


Artinya : “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".

20.

20) Al Quran S. (37) : 72


Artinya : “dan sesungguhnya telah Kami utus pemberi-pemberi peringatan (rasul-rasul) di kalangan mereka.
21. Al Quran S. (9) : 112


Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.

22. Al Quran S. (7) : 29


Artinya : “Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta`atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya)".


23. Al Quran S. (17) : 13-14


Artinya : “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu."

24. Al Quran S. (3) : 104


Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

25. Al Quran S. (45) : 28-29


Artinya : “Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."

26. Al Quran S. (3) : 110


Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.


27. Al Quran S. (2) : 46


Artinya : “(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
28. Al Quran S. (40) : 17



Artinya : “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.
29. Al Quran S. (3) : 86-88


Artinya : “Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la`nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la`nat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”.

30. Al Quran S. (25) : 43


Artinya : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?

31. Al Quran S. (45) : 23


rtinya : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
32. Al Quran S. (96) : 6-7


Artinya : “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
33. Al Quran S. (28) : 38


Artinya : “Dan berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".

34. Al Quran S. (28) : 4


Artinya : “Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

35. Al Quran S. (34) : 31


Artinya : “Dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al Qur'an ini dan tidak (pula) kepada Kitab yang sebelumnya". Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman".








36. Al Quran S. (7) : 127


Artinya : “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir`aun (kepada Fir`aun): "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?". Fir`aun menjawab: "Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka".

37. Al Quran S. (9) : 34



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,

38. Al Quran S. 28 : 5



Artinya : “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),





39. Al Quran S. (33) : 6-7


Artinya : “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,

40. Al Quran S. (4) : 97


Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,












Bab VII
Keadilan Sosial & Ekonomi

1. Al-Quran S. Ali Imran (3) : 64


Artinya : “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

2. Al-Quran S. Qashash (28) : 4


Artinya : “Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.

3.

3) Al-Quran Qashash (28) : 38

Artinya : “Dan berkata Fir`aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".
4. Al-Quran S. Qashash (28) : 39


Artinya : “Dan berlaku angkuhlah Fir`aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami”.

5. Al-Quran S. Al Maaidah (5) : 66


Artinya : “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

6.

6) Al-Quran Al-A’raaf (7) : 96

Artinya : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

7) Al-Quran 7 : 96


Artinya : “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).

8. Al Quran S. Ali Imran (3) : 18


Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

9. Al Quran S. Al Hadid (57) : 25


Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.

10. Al Quran S. Al Baqarah (2) : 124


Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".





11. Al Quran S. Al Anbiyaa’ (21) : 47


Artinya : “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan”.

12. Al Quran S. Al Baqarah (2) : 282





Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

13. Al Quran S. Al Maa-idah (5) : 95



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Ka`bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema`afkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”.



14) Al Quran S. Ath Thalaaq (65) : 2

Artinya : “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar”
.
15. Al Quran S. At Taubah (9) : 70


Artinya : “Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, `Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri:”.

16. Al Quran S. Ar Rahmaan (55) : 7


Artinya : “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)”.

17. Al Quran S. Al An’aam (6) : 1

Artinya : “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.

Copiaan

Baca selengkapnya......

"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."

BANGSA kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.
DEMOKRASI per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-eksekutif, legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.

Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin.
Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.
Apa itu ruang publik politis?
Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.
Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi ini.
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?
Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.
Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.
Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.
Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.
Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.
Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat (3).
Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).
Fungsi ruang publik politis
Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif.
Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale.
Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat.
Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara.
Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan" memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom di hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka.
Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).
Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya ruang publik politis di negeri kita.
Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik.
Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya.
Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas.
Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencerminkan kepublikan seluas-luasnya.
Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik
Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal-kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.
Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasil menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam masyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas, dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu.
Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada.
Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipulasi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.
Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian publik dibuka-tidak dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi.
Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.
Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgarnya filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni, gaya hidup, atau erotisme.
Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.
Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga yudikatif, dan seterusnya.
Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.
Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah, tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu. Ini terjadi dalam totalitarianisme.
Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.
Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.
Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu model demokrasi representatif sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk.
F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
Catatan:
1. Lihat Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 38
2. Lihat Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, (tesis tak diterbitkan), Munich, 1996, hlm 15
3. Lihat Habermas, J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfurt aM, 1992, hlm 443
4. Budi Hardiman, hlm 52
5. Bdk Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 28
6. Lihat Budi Hardiman, hlm 57

- Immanuel Kant

Baca selengkapnya......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com