Kamis, 10 Desember 2009

“Dasar Pertama Agama (dîn) Adalah Mengenal-Nya”.

Apa itu din?
Din berasal dari bahasa Arab. Menurut arti bahasa(etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Sedangkan menurut terminologi Teologi, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (aqidah), (2) hukum (syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnyaBerdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (aqidah), (2) hukum (syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainny baik di duinia maupun di akhirat.
Mengapa kita beragama ?
Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.

Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42).
Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh allah dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).
Bagaimana Seharusnya Kita Beragama ?
Secara teoritis agama adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam, yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.
1.Aqidah
Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.
Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur’an maupun Hadis, atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).

Bagaimana kita beraqidah atau bagaimana cara kita mempelajari aqidah ?
Ayatullah Muhammad Ray Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia yang beraqidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar taqlid dan lainnya beraqidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.
Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Qur’an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan, “Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).
Selain itu, Al-Qur’an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al-Qur’an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak boleh ber-taqlid.
2. Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS. Az-Zumar : 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS. Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya, “Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur’an dan Hadis. Dan untuk memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis tidaklah mudah.
Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada) di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadis (pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.
3. Akhlak
Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.” Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.
Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah beraqidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlak.
Sejarah manusia
Sipapun memahami bahwa seluruh realitas keagamaan erat kaitannya dengan cara pandang keduniaan. Tentu saja, cara pandang ini, melalui peran individu sebagai subyek, akan menentukan wajah agama sosiologis.
Menurut syari’ati, sejarah umat manusia merangkum catatan serentetan peristiwa dinamis tentang kehidupan manusia dalam proses “menjadi” dan upaya membentuk citra dirinya. Dengan cara pandang kesejarahan tersebut, sejarah adalah ciptaan manusia dalam mengemban tugas keilahiannya
Didalam kitab-kitab suci sudah menggambarkan tentang keberadaan manusia. Sejarah penciptaan manusia pertama kali dimulai dari peniupan roh yang suci kedalam tanah liat,
Kalimat tauhid yang berbunyi la ilaha illa allah (tidak ada tuhan selain tuhan) merupakan esesnsi dari semua ajaran islam. Dapat juga dikatakan, tauhid merupakan fondasi ajaran islam.secara etimologi, tauhid berarti mengesakan,yaitu mengesakan allah, dengan mengatakan “ tidak ada tuhan selain allah”, seorang manusia tauhid memutlakan allah yang maha esa sebagai khaliq mahapencipta, dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptan-Nya. Karena itu, hubungan manusia dengan allah tak setara dibandingkan hubungannya dengan sesame makhluk. Tauhid berarti komitmen manusia kepada allah sebagai focus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai bagi manusia-tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritasdsan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk allah. Komitmennya kepada tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan kepasrahan, serta kemauan keras untuk menjalankan kehendak-kehendaknya.


Copyan

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com