Kamis, 10 Desember 2009

Peristiwa Karbala, Ciri-Ciri, Faktor, dan Tujuannya

Setiap peristiwa besar dan penting, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar dan penting pula, sudah pasti mengandung pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil dan dimanfaatkan sebagai contoh teladan bagi kehidupan umat dan bangsa lain. Salah satu peristiwa besar dan penting ini ialah peristiwa yang selalu kita peringati setiap kali datang bulan Muharram, karena peristiwa yang kita peringati itu terjadi pada bulan suci ini. Pada kesempatan kali ini, kami ingin mengajak Anda semua untuk mempelajari secara singkat berbagai hal berkenaan tragedi bulan Muharram yang dikenal dengan tragedi asyura ini
Tak diragukan bahwa kebangkitan asyura, selain memiliki dampak-dampak keagamaan, individual dan sosial, juga memiliki ciri-ciri khusus yang bisa dikatakan tidak terdapat dalam peristiwa-peristiwa lain. Di antara ciri-ciri tersebut ialah:
1--Kristalisasi haq dan hakekat dalam bentuknya yang agung dan abadi
Artinya, kebangkitan Imam Husein beserta sejumlah keluarga dan pengikut setia beliau ini membuktikan bahwa kebenaran dan hakekat masih hidup dan siap bertahan dengan segala bentuk pengorbanannya di hadapan kebatilan dan kezaliman.
2--Dalam tragedi asyura di Padang Karbala ini, kezaliman yang sangat keji dan kesesatan yang sedemikian parahnya, dapat disaksikan dengan jelas dan gamblang.
3--Peristiwa Karbala, menjadi simbol teriakan kaum tertindas di sepanjang zaman.

4--Front Kebenaran dan Front Kebatilan menemukan bentuknya yang sangat utuh dan jelas dalam tragedi ini sehingga setiap orang dapat membedakan dengan mudah, mana kebenaran dan mana kebatilan.
5--Nilai-nilai yang dapat diambil sebagai pelajaran dari tragedi asyura tidak terbatas pada masa dan tempat tertentu. Nilai-nilai tersebut bersifat universal
Lalu apakah kira-kira hal-hal yang mendorong terjadinya peristiwa sedemikian tragis yang menggoreskan lembaran hitam dalam sejarah Islam ini? Penjelasan berikut ini akan dapat memaparkan faktor-faktor terjadinya tragedi asyura ini:
Pertama, terpilih dan naiknya orang-orang yang tidak saleh sebagai pemimpin. Sejak Ahlul Bait Nabi a.s. tersingkir dari hak mereka sebagai penerus kepemimpinan Rasul Allah SAW terhadap umat Islam, maka yang muncul kemudian ialah para pemimpin yang tidak saleh, yang dapat disaksikan dengan jelas sejak munculnya Muawiyah bin Abi Sufyan. Ialah yang kemudian menjadikan pemerintahan Islam sebagai kerajaan yang kekuasaannya diwariskan secara turun temurun. Di dalam sistem kerajaan, seorang putra raja otomatis akan menggantikan ayahnya, meskipun pada kenyataannya ia tidak memiliki kelayakan sebagai pemimpin. Untuk itulah seringkali muncul pemimpin zalim.
Sejarah manusia menunjukkan secara jelas bahwa pemimpin zalim hanya berpikir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun, termasuk dengan cara mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menguasainya sendirian. Di antara cara mempertahankan kekuasaan pemimpin zalim ialah dengan menyebarkan nilai-nilai kezaliman di kalangan para pejabat pemerintahannya bahkan di tengah masyarakat luas. Untuk itulah pemimpin zalim tidak pernah menyukai orang-orang saleh, bahkan menganggapnya sebagai sumber ancaman terhadap kekuasaannya.
Sejarah juga membuktikan bahwa Muawiyah dan anaknya Yazid, serta mayoritas para penguasa Bani Umayyah, yang disusul kemudian dengan para pemimpin Bani Abbasiyah, adalah jenis pemimpin zalim seperti itu. Akibatnya sudah barang tentu menyebarnya dekadensi moral di sebagian besar lapisan masyarakat, terutama di kalangan para pejabat negara. Ketidakadilan, kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakamanan menyebar ke mana-mana. Di antara yang paling parah ialah munculnya diskriminasi rasial di kalangan masyarakat muslim, dan meluasnya ideologi-ideologi sesat yang merusak akidah dan keyakinan Islam. Semua itu benar-benar merupakan ancaman serius bagi ajaran Islam yang murni.
Melihat kondisi buruk itu, yang mencapai puncaknya di zaman Yazid bin Muawiyah, maka sejumlah tokoh Kufah, Irak, yang dulu merupakan pengikut Imam Ali a.s. dan Imam Hasan a.s., menulis surat kepada Imam Husein a.s. agar datang ke Kufah untuk memimpin masyarakat Kufah memerangi Yazid. Imam Husein a.s. yang merasa terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini dan berangkat menuju ke kota bekas pusat pemerintahan ayahanda beliau itu.
Akan tetapi, pihak penguasa, yaitu Yazid yang mencium gerak-gerik penduduk Kufah ini, segera mengirim pasukan militer ke kota ini dan membasmi gerakan tersebut dengan menangkapi, memenjarakan dan membunuhi para tokohnya. Dengan demikian, jadilah Imam Husein a.s. kehilangan pendukung besarnya. Akan tetapi, beliau tetap berniat datang ke Kufah. Yazid yang mengetahui bahwa Imam Husein a.s. tetap bergerak menuju ke Kufah, mengirim bala tentara lengkap untuk mencegah kedatangan beliau ke kota ini.
Terhalang untuk masuk ke kota Kufah, akhirnya rombongan Imam Husein a.s. digiring hingga tiba di sebuah padang pasir bernama Karbala. Ketika datang perintah dari Yazid di Syam, agar Imam Husein beserta rombongannya dibantai, maka terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang, yang kemudian dikenal di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah sebagai tragedi Karbala.
* * *
Berikut ini adalah uraian sekilas hasil-hasil yang dicapai oleh revolusi Imam Husein a.s. ini. Di antara yang dapat disebutkan sebagai hasil-hasil kebangkitan Imam Husein a.s. ialah:
1-Terbongkarnya kedok yang menutupi kejahiliyahan dan kezaliman pemerintahan para penguasa pada zaman beliau, dan tereksposnya wajah buruk pemerintahan tiran mereka kepada seluruh masyarakat Islam.
2-Kebangkitan semangat keagamaan dalam menentang para penguasa tiran dan diktator.
3-Revivalisasi ajaran-ajaran Islam yang murni.
4-Kebangkitan kesadaran sejarah dan keteladanan kebangkitan Imam Husein dalam menentang kezaliman bagi umat manusia di sepanjang zaman.
5-Penyadaran umat muslimin akan hak-hak mereka pada para penguasa, serta kewajiban-kewajiban para penguasa terhadap mereka.
6-Dihidupkannya kembali budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat Islam.
7-Dihidupakannya kembali sunnah Nabi di kalangan kaum muslimin.
8- Bangkitnya perhatian dan kecintaan rakyat kepada Ahlul Bait Nabi dan keturunan mereka.
9-Penjalinan hubungan emosional dan idiologi antara ummat manusia dan kebangkitan Imam Husein a.s.
Jika kita pelajari dengan baik situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan muslimin di tahun-tahun kebangkitan Imam Husein ini, atau dengan kata lain, jika kita mengetahui dan mengenal siapa itu Muawiyah dan siapa Yazid, anaknya yang kemudian mewarisi kekuasaannya, demikian pula jika kita kenal dengan baik siapa Imam Husein, keluarga dekat dan para pengikut setia yang menyertai beliau ke Karbala, maka akan kita ketahui pula dengan baik, ciri-ciri, faktor, tujuan dan hasil-hasil perjuangan Imam Husein a.s. yang berakhir dengan sangat tragis di Padang Karbala.
Untuk itu mari kita mempelajari sejarah peristiwa Karbala ini dengan sebaik-baiknya. Sisihkan sedikit waktu untuk mempelajari kehidupan Imam Husein dan perjuangan beliau ini. Waktu yang berjalan detik demi detik di Karbala, semuanya memberikan pesan dan petunjuk. Tiap wajah di Karbala mengekspresikan suatu pesan. Di Karbala, manusia terbagi dua kelompok dan masing-masing memainkan perannya. Yang satu memerankan kebaikan dan keindahan, sedangkan yang lain memerankan kejahatan dan keburukan. Masing-masing telah memainkan peran mereka dengan sangat sempurna. Tragedi Karbala adalah cermin bagi semua manusia. Setiap orang dapat menyaksikan gambaran dirinya di Karbala
Pemisahan antara hak dan batil, antara iman dan kufur, antara keindahan dan keburukan, terulang kembali di Karbala dengan bentuknya yang paling gamblang dan spektakuler. Inilah di antara tujuan besar yang hendak dicapai dengan pengorbanan cucu-cucu Rasul SAW dan sejumlah pengikut setia mereka. Imam Husein menyaksikan bahwa ajaran suci Islam berada dalam ancaman kehancuran oleh ulah para pemegang kekuasaan duniawi yang serakah. Segala usaha telah dilakukan tetapi tidak membuahkan hasil. Di satu sisi, beliau menyaksikan kezaliman para penguasa yang semakin merajalela. Sementara dari sisi lain umat Islam semakin tenggelam dalam tidur lelap yang melenakan.
Untuk itu diperlukan sebuah ledakan besar yang akan mencabut akar-akar kezaliman para penguasa tiran, dan membuyarkan tidur lelap yang melenakan mata hati umat muslimin. Kepada para penguasa zalim harus dikatakan bahwa kekuatan kebenaran masih belum lenyap; dan kepada rakyat harus dikatakan bahwa kekuatan penuntut keadilan masih tegak dan harus tetap ditegakkan. Pengorbanan Imam Husein a.s. beserta keluarga dan pengikut setia beliau telah berhasil mencapai tujuan tersebut. Hingga kini, kita masih dapat menyaksikan kebenaran dan keadilan dan tegaknya ajaran-ajaran Islam yang murni. Disadari atau tidak, semua itu adalah berkat pengorbanan dan perjuangan yang dipimpin oleh Imam Husein yang berakhir di Padang Karbala.
Assalamu ‘alaika yaa Abaa Abdillah wa ‘alal arwaahil ladzii hallat bifinaa-ik.
Assalamu ‘alal Husein….wa ‘ala ‘Aliyyi ibnil Husein ….wa ‘alaa awlaadil Husein wa ‘alaa ashaabil Husein…..laa ja’alahullaahu aakhirol ‘ahdi minnii liziyaratikum.

PARA KSATRIA KARBALA
Perjalanan sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan dan tokoh-tokoh besar yang namanya abadi dan tindak-tanduknya layak diteladani. Lembaran hidup mereka mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan kebesaran. Di saat-saat genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap menjadi panutan. Kisah tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski menjadi luka yang dalam bagi umat Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan hikmah. Tragedi Karbala adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara kemanusiaan dan kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara kebebasan dan keterbelengguan.
* * *
Hurr bin Yazid Al-Riyahi
Di padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin Yazid Al-Riyahi, Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan lainnya mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati dari kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawa Anda ke masa itu, saat lakon-lakon Karbala mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak Anda untuk mencermati fragmen-fragmen yang mereka mainkan.
Hurr bin Yazid Al-Riyahi, komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.
Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sadar bahwa dia berada di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan namanya dalam daftar orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya berada di persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan imbalan surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian sadis pasukan Ibnu Ziyad.
Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah berani mencabik-cabik barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan, “Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.”

Muslim bin Ausajah
Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di berbagai medan perang dipuji banyak orang. Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga Kufah. Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali tidak menghalangi kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di hadapannya terjungkal. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas nyawa, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam Husein.

Habib bin Madhahir
Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam tanggal sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah Habib terlihat berseri-seri. Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam yang mencekam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa yang Tuhan.”
Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putra Madhahir dan membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melempar senyum ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai surga. Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.

Nafi’ bin Hilal
Nafi’ bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.

Burair bin Khudhair
Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menyebutnya sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura. Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu menggoda Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya Abdurrahman berkata, “Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.” Burair menjawab, “Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan surga hanya beberapa saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke surga.” Burair gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.
Kemenangan dalam berjuang tidak selalu berbentuk kemenangan lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan juga merupakan sebuah kemenangan besar. Tak salah bila ada pepatah yang mengatakan: darah mengalahkan pedang. Kisah Karbala adalah salah satu contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota rombongan Imam Husein telah mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang bergerak menuju kematian, tetapi cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan dengan syahadah membuat mereka mantap melangkah. Kami masih bersama Anda dengan pembicaraan seputar tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka pentaskan di Karbala.
* * *
Ali Akbar bin Husain as
Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di tengah sahara. Menyadari bahwa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membantai Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?” Imam menjawab, “Iya.” Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak alasan bagi kita untuk merasa ragu dan gentar.”
Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.”
Ali Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabetan pedang putra Al-Husein. Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah telah memberiku air. Beliau menunggu kedatanganmu.” Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.

Qasim bin Hasan as
Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan. Kemenakan Imam Husein yang saat itu masih sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas tahun, telah menyuguhkan pelajaran yang amat berharga. Di hari Asyura, saat pembantaian di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga. Imam Husein mendatanginya dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?” Qasim menjawab, “Kematian bagiku lebih manis dari madu.” Ya, remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju ke medan laga dan gugur sebagai syahid.

Jaun bin Abi Malik
Jaun bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal diam. Dia bangkit dan meminta ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan celakakan dirimu. Engkau telah kumerdekakan.”
Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.” Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi. Setelah mendapat ijin, bekas budak Abu Dzar itu maju ke medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul. Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga Muhammad.”

Wahb bin Abdullah
Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad.
Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.” Tak cukup dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.
Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala. Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban shalat. Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu dari terjangan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.
Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada beliau bahwa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.” Mata sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?” Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke surga.”

Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri
Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur. Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan shalat tahajjud. Di malam Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.” Abis gugur syahid setelah pasukan musuh yang kewalahan dalam menghadapinya, menghujaninya dengan batu-batuan.

Mengapa Asyura Diperingati Tiap Tahun?
Selama 14 abad ini, para pengikut Ahlul Bait tiap tahunnya selalu mengenang peristiwa heroik Asyura yang sangat tragis. Mereka mengenang kembali lembaran demi lembaran sejarah yang menghiasi darah-darah suci yang tertumpah di Karbala. Mereka menangis, terkadang sampai histeris. Di negeri-negeri muslim yang tradisi Syiah-nya sudah sangat kental, Asyura berarti upacara-upacara duka dengan cara turun ke jalan atau hadir di majelis-majelis duka cita.
Banyak kaum muslimin dunia yang belum mengenal madzhab Ahlul Bait ini yang mempertanyakan, mengapa orang-orang Syiah tiap tahun mengenang peristiwa tragis ini? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad dari zaman kita masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga Nabi masih dipelihara oleh orang-orang Syiah? Bukankah kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka?
Sejak Imam Husein a.s. gugur di Karbala dan kepemimpinan atas ummat Islam atau imamah berpindah tangan kepada puteranya Imam Ali bin Husein As-Sajjad a.s, mengenang peristiwa pahit Karbala itu sudah diperintahkan oleh para imam. Dalam berbagai kesempatan, para imam selalu meminta para penyair dan orator terkenal di zamannya untuk membacakan kembali berbagai kisah yang berlangsung pada tanggal 10 Muharam tahun ke-61 Hijriah tersebut. Kita bisa mengemukakan sejumlah hal yang menyebabkan para imam sampai menyuruh para pengikutnya agar menghidupkan terus peristiwa Karbala dalam ingatan mereka.
Pertama, peringatan Asyura bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang mendambakan keadilan untuk melakukan gerakan kebangkitan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, situasi represif yang ada pada zaman khilafah Yazid bin Mua’awiyah sudah sedemikian buruknya sampai-sampai, saat menerima ancaman dari Yazid agar membaiatnya sebagai khalifah, Imam Husein mengatakan, “Kita harus melupakan Islam untuk selama-lamanya jika kaum muslimin harus diperintah oleh orang semacam Yazid”.
Berbagai ciri-ciri masa jahiliah yang hendak dikembalikan lagi oleh Bani Umayyah mencapai klimaksnya pada zaman pemerintahan Yazid. Saat itu, Islam betul-betul tinggal nama. Sedangkan perilaku keseharian yang dipraktikkan oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin ummat Islam sudah sangat mirip dengan perilaku para tokoh Qureisy di zaman jahiliah dulu. Fanatisme terhadap kaumnya sendiri, taklid buta, dibuangnya rasa kemanusiaan, dan dicampakkannya ilmu pengetahuan sudah menjadi perilaku sehari-hari kalangan istana Syam tempat Yazid memerintah. Hal itu sangat terasa kontras dengan masa beberapa dekade sebelumnya, saat pemerintahan Islam langsung dipegang oleh Rasulullah SAWW.
Kembalinya masa gelap jahiliah kepada kehidupan masyarakat adalah sebuah proses sejarah yang terus berulang dengan instrumen yang berbeda-beda. Di setiap saat, selalu saja ada gerakan yang dilakukan orang-orang jahat untuk mengembalikan masa jahiliah. Dari sini, panji kebangkitan Asyura yang dipancangkan oleh Imam Husein a.s. akan menjadi inspirasi yang tiada habisnya bagi para pendamba keadilan. Mereka bisa melihat bahwa penegakan keadilan itu harus dilakukan meskipun itu berarti hilangnya nyawa diri sendiri dan sejumlah besar keluarga.
Di depan pasukan Ibnu Ziyad yang kemudian menjadi pasukan pembantainya di Karbala, Imam Husein mengatakan demikian.
“Wahai ummat Islam, dengarlah kata-kataku. Aku pernah mendengar kakekku, Muhamad SAWW, berkata bahwa selalu saja ada pemimpin yang mengaku bergama Islam tetapi berperilaku represif. Ia merobek-robek janji yang telah dibuatnya dengan Allah. Ia menentang sunnah Rasululllah. Ia juga memerintah dengan cara-cara kejam dan maksiat. Siapapun yang melihat pemimpin semacam itu tetapi ia tidak melakukan perlawanan dengan tindakan maupun hanya sekedar kata-kata, maka Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat bersama pemimpin yang zhalim tersebut”.
Peristiwa Asyura juga memberikan inspirasi kepada para pejuang keadilan bahwa dalam pandangan Allah, kemenangan yang hakiki terkadang tidak bisa tampak pada hal-hal yang sifatnya lahiriah. Pada peristiwa Asyura, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya malah terbantai. Akan tetapi, kekalahan secara lahiriah itu malah merupakan sebuah kemenangan hakiki. Dalam Islam, kemenangan hakiki akan diperoleh ketika seseorang mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan hingga ia mampu melaksanakan perintah Ilahi.
Tentu saja harus kita ingat bahwa secara lahiriah pun, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sebenarnya bisa disebut memperoleh kemenangan. Hanya saja, kemenangan itu bersifat politis yang bisa tampak dari situasi yang tercipta setelah peristiwa Karbala itu terjadi. Kaum muslimin yang selama ini tertipu oleh konspirasi-konspirasi licik lingkaran elite politik Bani Umayah, sejak syahidnya Imam Husein di Karbala, mulai sadar dengan ketertipuannya. Saat itu pertanyaan-pertanyaan kritis mulai mengemuka: bagaima mungkin seorang yang mengklaim diri sebagai khalifah kaum muslimin, akan tetapi berani membantai keluarga Rasulullah? Posisi politis Yazid dan antek-anteknya betul-betul hancur begitu Imam Husein gugur di Karbala.
Yang juga tidak boleh dilupakan dari kekalahan Imam Husein secara militer adalah fakta bahwa secara teoretis memang tidak mungkin mengharapkan Imam Husein dan 72 sahabatnya bisa menang melawan pasukan Ibnu Ziyad yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Seandainya kekuatan kedua pihak berimbang atau minimalnya tidak timpang, bisa dipastikan bahwa Imam Husein akan meraih kemenangan secara militer. Dalam pertempuran yang lebih pas untuk dikatakan pembantaian itu, jumlah tentara Ibnu Ziyad yang tewas pun sangat banyak.
Inilah yang bisa kita saksikan dari kebangkitan revolusi Islam di Iran pimpinan Imam Khomeini. Kaum revolusioner Iran mampu menumbangkan rezim despotik Syah dengan menyandarkan inspirasi mereka kepada perjuangan revolusioner Imam Husein di Karbala. Sejarah mencatat bahwa perlawanan fisik Imam Khomeini dan sahabat-sahabat mulai menggelegak sejak Imam ditahan oleh pihak keamananan kerajaan pada tanggal 5 Juni 1963, dan itu hanya terjadi tiga hari setelah para ulama Iran menyerukan peringatan duka Asyura secara nasional.
Dari Libanon selatan, para pejuang Hizbullah juga berhasil mengusir tentara penjajah Israel yang didukung oleh peralatan militer super canggih. Para pejuang Hizbullah yang mayoritasnya bermadzhab Ahlul Bait itu mengaku bahwa secara mental, mereka tidak pernah kelelahan ketika memperjuangan sesuatu yang sangat berat itu, karena menurut mereka, hal yang jauh lebih berat pernah di ditanggung oleh panutan mereka, yaitu Imam Husein a.s. dan sahabat-sahabatnya di Karbala.
Para pejuang keadilan akan memiliki ketahanan mental dan tidak akan mengenal lelah dalam perjuangan mereka jika mereka menghidupkan terus peristiwa Asyura dalam benak mereka. Setiap detik dari peristiwa yang terjadi di Karbala adalah elegi kepiluan yang sangat sulit ditandingi oleh peristiwa apapun di sepanjang sejarah ummat manusia. Karena itu, ketika berhadapan dengan hal-hal yang sangat sulit sekalipun, seorang pejuang yang terus menghidupkan Asyura dalam benaknya tidak akan pernah merasa putus asa karena yang dialami oleh Imam Husein dan keluarganya di Karbala akan tetap jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang dialaminya.
Para veteran perang Iran akan selalu mengisahkan heroisme yang mereka gelar dalam perang melawan tentara Saddam dengan menyebut-nyebut kepiluan tragedi Karbala sebagai inspirasi tiada habisnya hingga mereka bisa resisten di hadapan kesulitan-kesulitan yang menghadang. Seorang veteran perang Iran pernah menceritakan kesulitan yang dihadapinya ketika selama tiga hari berturut-turut dikepung pasukan Saddam. Saat itu, ia dan dua orang rekannya berada di sebuah pos penjagaan Khurramshahr yang sudah ditinggalkan oleh tentara Iran lainnya. Kemungkinan besar, para tentara Iran yang lain mengira bahwa ia dan dua rekannya sudah gugur ditembak tentara Irak. Selama tiga hari terjebak di pos penjagaan itu, ketiga tentara Iran tersebut diteror oleh tentara Irak dengan dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Simaklah penurutan sang veteran perang.
“Ketika tentara Saddam datang, kami sedang berada di sebuah pos penjagaan, sebuah ruangan kecil berukuran 1 x 2 meter. Mereka langsung mengepung pos dari berbagai arah. Saluran listrik dan air yang tadiya terhubung ke pos penjagaan mereka putus. Mereka kelihatan sekali ingin menyiksa kami, karena kalau mau, mereka dengan mudah mengebom pos penjagaan hingga kami bisa mati seketika. Tetapi yang mereka lakukan hanyalah melakukan tembakan-tembakan ke arah tembok pos penjagaan. Mereka lakukan semua itu sambil tertawa-tawa mengejek. Mungkin yang mereka inginkan adalah kami melakukan bunuh diri karena tidak kuat dengan situasi yang ada”.
“Situasi kami memang sangat sulit. Selama 72 jam kami bertiga berada di sebuah ruangan kecil tanpa makanan dan minuman. Kami bahkan tidak bisa buang air di tempat lain karena sedikit saja kami memperlihatkan anggota badan kami, tentara Irak itu akan segera menembaki kami. Kami akhirnya berhasil lolos setelah datang bantuan dari rekan-rekan kami. Mereka yang kini mendengar penuturan saya mengenai kesulitan yang kami hadapi saat itu mungkin akan menganggap kami sebagai perjuangan yang sangat berat. Namun, sebenarnya tidak demikian. Penderitaan kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan siksaan yang dialami oleh Ali Al-Ashghar, bayi kecil yang selama tiga hari tidak mendapatkan minuman apapun. Selama tiga hari itu, Ali Al-Ashgar disengat teriknya mentari padang Karbala yang buas. Ketika Imam Husein ingin memberitahukan penderitaan Ali Al-Ashghar kepada pasukan Ibu Ziyad dengan cara mengusungnya di atas telapak tangan, yang diterima oleh Ali Al-Ashghar malah sebuah anak panah yang menembus lehernya hingga ia menjadi anggota kafilah termuda yang gugur dalam peristiwa Asyura”.
Dari penuturan veteran perang Iran tadi, kita bisa melihat betapa sebuah episode dari tragedi Karbala bisa membuat mereka bisa tabah dan bertahan dalam menghadapi penderitaan yang luar biasa. Inspirasi untuk tabah dengan cara mengingat terus tragedi Karbala tentulah tidak akan mungkin bisa diperoleh oleh para veteran perang tadi seandainya Asyura tidak mereka hidupkan dalam benak mereka. Dalam kehidupan sehari-haripun, seorang yang terus mengenang peristiwa Asyura pasti akan mampu bersikap resistan di hadapan segala macam kesulitan hidupnya.
Hal lain yang sering menjadi bahan pertanyaan dari orang-orang yang belum mengenal hakikat madzhab Ahlul Bait adalah terkait dengan masalah mengapa kita harus terus memelihara rasa benci terhadap para pembantai keluarga rasulullah di Padang Karbala yang peristiwanya terjadi belasan abad yang lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus dipahami. Pertama, kebencian terhadap perbuatan buruk haruslah dipelihara terus oleh seorang muslim. Inilah ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kedua, ada makhluk-makhluk tertentu di dunia yang menjadi manifestasi utuh dari perbuatan buruk. Untuk itu, Al-Quran dan Sunnah Nabi juga mengajarkan kepada kita untuk membenci makhluk tersebut. Contoh paling jelas untuk hal ini adalah makhluk bernama Iblis. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memelihara kebencian Iblis dan segala perbuatannya.
Pemeliharan kebencian terhadap keburukan dan simbol keburukan itu diajarkan oleh agama supaya kita tidak tidak terjatuh ke dalam perbuatan buruk itu. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang ini, apakah mungkin makhluk yang menjadi simbol perbuatan buruk itu berupa manusia? Dengan kalimat lain, mungkinkah ada manusia yang menjadi simbol perbuatan buruk tersebut sehingga ia dan segala perbuatannya harus kita benci? Dalam sejarah ummat manusia Al-Quran memperkenalkan tokoh-tokoh jahat semacam Qabil (putera Nabi Adam), Namrud, Firaun, dll. Semasa Rasul hidup, Al-Quran juga melaknat sejumlah orang munafik karena perbuatan buruk mereka.
Dari sisi ini, kita bisa mengatakan bahwa pemeliharaan kebencian terhadap perbuatan jahat dan para pelaku perbuatan itu sebagaimana yang digelar oleh para pembantai keluarga Nabi di Padang Karbala bukan hanya tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan malah sebuah ajaran abadi yang harus terus kita hidupkan. Itu semua karena karakteristik para pembantai keluarga Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sama dengan karakteristik manusia-manusia yang dilaknat oleh Al-Quran.
Masalah terakhir yang menjadi pembahasan kita sekarang ini terkait dengan ratapan dan tangisan para pecinta Ahlul Bait saat mengenang peristiwa Asyura. Ada sejumlah kalangan yang mempertanyakan, mengapa tragedi ini sampai harus ditangisi padahal peristiwanya terjadi ratusan tahun silam? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama harus diingat bahwa menangis adalah reaksi refleks seseorang terhadap situasi emosional tertentu yang ada dalam jiwanya. Episode demi episode dalam peristiwa Karbala memang sangat mengiris hati. Karenanya, butiran air yang menetes dari mata seseorang yang tersentuh hatinya ketika mengenang peristiwa Asyura adalah sebuah proses fisiologis yang sangat alami.
Akhir-akhir ini, para psikolog menyodorkan teori tangisan sebagai bentuk katarsis atau pelepasan emosi yang menyumbat, sehingga kondisi emosional kita yang terkadang berubah-ubah karena situasi tertentu bisa kembali seimbang lewat tangisan tersebut. Para psikolog lainnya juga berbicara mengenai butiran air mata yang bisa melembutkan hati. Walhasil, tangisan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk.
Ada sejumlah pihak yang menyebut tangisan sebagai simbol kecengengan atau malah simbol ketidakrelaan kita atas kehendak Allah. Pernyataan ini memang bisa dibenarkan dalam sejumlah kasus. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan tangisan terhadap peristiwa Asyura, pernyataan tadi menjadi tidak relevan. Menangisi Asyura jelas bukan sebuah kecengengan. Justru kalau ada orang yang mengetahui adanya tragedi dahsyat ini kemudian ia sama sekali tidak bereaksi, itu menunjukkan bahwa hatinya sudah sekeras batu. Meratapi tragedi Karbala juga tidak bisa dikategorikan sebagai ketidakrelaan atas kehendak Allah karena yang tidak direlakan oleh para pecinta Ahlul bait adalah perbuatan bengis Yazid dan tentaranya, yang juga sama sekali tidak diridhoi Allah SWT.


Copian


0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com