Rabu, 09 Desember 2009

KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI DALAM MEMAHAMI HUKUM ISLAM

A. PENDAHULUAN
Sosiologi merupakan suatu ilmu social dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan kerohanian. Sosiologi bukan pula merupakan disiplin yang normative akan tetapi adalah suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang tejadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang terjadi atau yang seharusnya terjadi. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu terapan atau terpakai (applied science). (Sosiologi Suatu Pengantar 21-22).

Perlu diketahui bahwa dari penerapannya, ilmu pengetahuan dipecah menjadi dua bagian yaitu ilmu pengetahuan murni dan ilmu pengetahuan terapan. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Sedangkn ilmu terapan adalah ilmu pengetahuan yang bertujun untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empirisdan rasional dan juga merupakan ilmu pengetahuan yang umum bukan khusus.
Setelah mengetahui arti sosiologi secara umum maka dapat pulalah kita mengetahui arti, apasih hokum Islam itu?, dan apa hubungannya dengan sosiologi?.
Hukum Islam adalah huum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan makan (ruang) manusia. Keuniversalan hokum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakikat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang subtansi-subtansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam dimanaoun, kapanpun dan kebangsaan apapun.(Hukum Islam dn Pluralitas Sosial 6-7). Sedangkan hubungan hokum Islam dengan sosiologi adalah hubungan yang timbal balik dimana keduanya dilihat dari orientasi masyarakat muslimnya dalam penerapan hokum islam, sebab perubahan hokum Islam juga merupakan karena perubahan masyarakat muslim, dan perubahan masyarakat muslim disebabkan oleh berlakunya ketentuan baru dalam hokum Islam.
Adapun salah satu upaya yang ditempuh bagi peningkatan dan kemampuan dalam pemahaman ilmu-ilmu social adalah dengan cara menambah pebendaharaan baru pada body of knowledge yang sudah dilalui dalam penelitian dasar (discipline research) ataupun penelitian tarapan (applied research). Heri Santoso dan Listiyono Santoso, Filsafat Ilmu Sosial, Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-ilmu Sosial hal. 116
Jika kita mengkaji sosiologi secara detail maka dapatlah kita lebih konsen untuk meneliti lebih jauh lagi dalam mendalami ilmu pengetahuan sosiologi di masyarakat, khususnya pada konseptualisasi sosiologi dalam memahami hukum islam yaitu mengenai spirit dasar dalam penetapan hukum islam, penetapan hukum Islam terhadap tatanan sosial dan pemahaman tulis secara sosiologi.

B. SPIRIT DASAR DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM
Dalam penetapan hokum Islam telah diketahui bahwa dalam penyempurnaan agama bagi bagi kaum muslim sebagaimana firman Allah SWT yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 4 yaitu:
Ayat alquran disisni

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku cukupkan untukmu nikmatKu dan telah Aku ridhoi Islam menjadi agamamu”. (QS: Al-Maidah, 4)
Firman yang termateri diatas ini menjelaskan kepada kita, bahwa Allah SWT, telah menetapkan didalam kitab suci Al-Qur’an segala dasar-dasar agama.
Ayat ini nash yang cukup terang dan konkrit yang menyatakan bahwa Al-Qur’an telah menegakkan dasar-dasar aqidah (kepercayaan yang fondamentil), dasar-dasar syar’ah, pokok-pokok aturan dan undang-undang ijtihad (qanun-qanun ijtihad buat mengistinbathkan hokum juz’ I dari sesuatu hokum kulli).
Semua telah mengetahui, bahwa agama islam ini, ialah; Undang-undang yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan Rasul-Nya, baik berupa ibadat, maupun berupa mu’amalat. Sebagaimana Allah menjelaskan kepada kita mengapa kita mengibadati-Nya, betapa kita mentaqarrubkan diri kepada-Nya dengan bermacam-macam ibadat dan qurbat yang dapat mengheningkan jiwa dan membersihkan rohani, seamsal sembahyang, puasa dan haji, Allah mengajar kepada kita pula, betapa kita sebagai anggota masyarakat manusia, melancarkan mu’amalat sesame kita dengan berjual beli, sewa menyewa, berhutang piutang, mengadakan perkongsian, pegadaian, perkawinan dan lain-lain sebagainya, guna memelihara kesentosaan masyarakat serta memeliharanya dari kekacauan dan perpecahan.
Maka, Allah telah menetapkan untuk ibadat dan qurbat, ketetapan-ketetapan yang harus kita turuti, tidak boleh kita melampauinya dan tidak boleh pula kita menguranginya. Kelakuan ukuran dan segala yang berpaut dengan ibadat, telah dijelaskan Allah dengan memerintah kita menuruti dengan sebenar-benarnya.
Mengenai urusan mu’amalat, Allah menetapkan Undang-undang yang ‘aam dan dasar-dasar yng umum, Allah lakukan demikian, supaya sesuaialah keadannya dengan keadaan mu’amalat yang terus menerus mengalami perobahan dan menghendaki kesempurnaan.
1. Dasar-dasar dalam Urursan Ibadat dan Mu’amalat
Dasar pegangan ummat dalam urusan ibadat, ialah:
Ayat alquran disisni
“Tidak shah, tidak boleh kita mengerjakan suatu perbuatan, sebelum datang perintah yang menyuruh kita mengerjakannya”.

Dasar pokok pegangan kita dalam urusan mu’amalat ialah:

Ayat alquran disisni
“Kebolehan kita menyusun, mengatur dan mengerjakan segala apa yang kita kehendaki selama lagi belum datang (kita peroleh) larangan yang menegahnya atau mengharamkannya”. Tafsir Al Manar 7 : 161
Dibedakan dua urusan ini karena mengingat bahwasanya Allah SWT tidak diibadati-Nya melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan oleh-Nya dan telah diterangkan pula oleh Rasul-Nya. Ibadat itu adalah hak Allah terhadap hamba-Nya. Maka wajiblah kita mengerjakan dengan baik dan sesuai pula dengan apa yang dikehendakinya.
Urusan mu’amalat, soal jual beli, adalah soal yang diserahkan kepada kita. Kita dapat melaksanakannya menurut kemuslihatan pendapat akal, terkecuali jika telah ada sesuatu nash, atau keterangan syara’ yang menentukanya.
Mengingat hal inilah maka Allah mencecat pekerti kaum musyrikin yang menyalahi dasar pokok ini. Mereka menambah-nambahkan macam-macam ibadat dan mengada-adakan tata cara serta mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah SWT.
Walhasil, apabila Allah tidak menerangkan hokum mengenai suatu hal, mengertilah kita bahwa hal yang demikian diserahkan kepada pertimbangan kita sendiri.
Ringkasnya, yang halal ialah yang dihalalkan Allah dan yang haram ialah yang telah diharamkan Allah. Yang didiamkannya, yakni yang tidak diterangkan halal haramnya, berarti telah diserahkan kepada kita. Lantaran itu, tiap-tiap syarath, tiap-tiap aqad dan tiap-tiap mu’amalat yng tidak diterangkan syara’ hukumnya, tak dapatlah kita mengharamkannya. Allah diam itu bukan berarti lupa, bukan pula kerena tidak pedulikannya. Apalagi jika diingat bahwa tidak sedikit keterangan syara’ yang menegaskan bahwa yang tidak diharamkan, hukumnya boleh. Inilah dasarnya kita wajib memenuhi segala rupa syarath yang kita syarathkan.
Lebih lanjut lagi ditegaskan bahwa segala masalah yang mengenai agama adalah: ‘aqa-id, ibadat, larangan dan kebolehan yang bersifat agama, wajiblah dipegangi nash Al-Qur’an dan penerangan sunnah, baik penerangan itu bersifat perkataan maupun bersifat pekerjaan, menurut cara yang telah dipahamkan oleh ulama-ulama shahabat.
Maka sesuatu yang telah mereka ijma’kan, tidak boleh lagi kita menyalahinya. Soal-soal yang mereka perselisihkan memerlukan kita menyelidiki dalil-dalil yang menjadi pegangan mereka dan mentarjihkan sebagaimana dalil diatas sebahagian yang lain berdasar kepada kaidah-kaidah tarjih yang telah dipegag oleh ulama-ulama ijtihad. Dalil-dalil yang tidak kuat, tak boleh dipegangi. Lantaran itulah kesengajaan mengada-adakan sesuatu rupa ibadat baru dan sengaja mengerjakan sesuatu ibadat yang diterima dari Nabi SAW dengan cara yang berlainan dari cara yang telah dikerjakan Nabi dan jumhur Shahabat, baik berdasar qiyas, berdasar ijma’ ataupun berdasar kemaslahatan dan dasar-dasar ‘illat yang lain.
Ketetapan tersebut berdasarkan firman Allah SWT yng menrengkan bahwa pokoknya, cabangnya dan lain-lainnya dengan perantaraan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Selain dari itu dia berdasar pula kepada firman yang menegah kita membanyakkan soal yang membawa kepada bertambah banyak urusan yang ditaflihkan, dan berdasarkan pula kepada keterangan Syara’, bahwa yang didiamkan itu berarti diserahkan kepada. Maka apabila kita tambah dengan ijtihad kita sendiri, beratlah kita menentangi nash Al-Qur’an atau berartilah kita mencecat penerangan Rasul, atau berartilah kita mendakwakan bahwa ijtihad kita lebih tinggi dari ijtihad Rasul.
2. Dasar-dasar dalam Urusan Keduniaan
Urusan keduniaan, baik mengenai urusan haram, halal, politik, kehakiman, peradaban, terbagi dalam beberapa bagian antara lain:
1. Bagian Pertama adalah urusan yang terdapat padanya nash yang muhkam lagi qath’I jalan datangnya dan petunjuknya menurut ilmu bahasa, dan datang untuk mewujudkan suatu undang-undang umum.
Dalam menghadapi soal-soal yang demikian, maka kewajiban kita ialah mengamalkan nash itu, tak boleh kita menjalankan ijtihad kita padanya, selama nash itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat daripadanya, dari nash-nash yang khusus mengenai soal-soal yang diperkatakan ataupun dalil-dalil umum dan lainnya, seperti dalil yang menetapkan bahwa agama tidak menginginkan kepicikan, tidak menyukai kemelaratan dan seperti dalil yang mengharuskan kita mengerjakan yang dilarang dikala terpaksa.
2. Bagian Kedua adalah urusan yang dijuluki oleh sesuatu nash yang shahih dengan dasar umumnya, atau dengan illat-illat yang dikandungnnya,atau dengan mafhumnya yang terang dan telah diijma’kan pula oleh ulama-ulama abad pertama yang kenamaan
Dalam soal yang tersebut ini, wajiblah kita menuruti jalan y ng lalu juga, dengan menurut syarath-syarathnya
3. Bagian Ketiga adalah urusan-urusan yang diperoleh padanya nash yang tidak qath’I petunjuknya atau hadits-hadits yang tidak lemah sekali dan tidak pula tsabit. Karena itu para shahabat dan ulama-ulama Salaf berlainan pendapat dalam berpegang kepada hadits itu berdasar perselisihan mereka dalam menetapkan shah tidaknya hadits tersbut.
Dalam kita menghadapi soal-soal yang semacam ini, hendaknya diberikan kepada masing-masingnya hasil-hasil ijtihad dan dimaafkan orang yang menyalahinya.
Para shahabat dan ulama Salaf telah berselisih dalam urusan-urusan thaharah dan najasah, disebabkan oleh karena nash-nash yang diperoleh tidak qath’I atau tidak dapat dipandang shahih. Maka mereka dalam soal-soal yang diperselisih itu, masing-masing menurut ijtihadnya dengan tidak mencecat lawannya dan tidak pula enggan bersmbahyang dengan orang-orang yang menyalahi ijtihad itu.
Sebagaimana Shahabat terus memahamkan keharaman arak dari ayat Al-Baqarah sedang sebagian yang lain, tidak. Masing-masing mereka memegang ijtihadnya dengan tidak membantah pendapat orang lain.
Sebanding dengan ini soal-soal yang di instinbadhkan oleh setengah ulama dari memahamkan ayat-ayat atau hadits yang tidak tegas. Maka bagi orang yang berpendapat bahwa hadits tersebut menghendaki wujudnya sesuatu yang mereka pahamkan itu, hendaklah memeganginya. Bagi orang yang tidak berpendapat demikian tidak bolehlah kita menggagahinya dan memaksa ia menuruti istinbath sebagian ulama itu.
4. Bagian Keempat adalah urusan yang mengenai kehakiman dan kenegaraan
Dalam urusan-urusan trsebut diperlukan ululamri mengadakan perembukan. Mereka merumbuki soal shahnya, keterangan yang diproleh dan soal tepatnya keterangan itu menunjuk kepada hokum yang dimaksud. Maka mana dari hasil penyelidikan mereka, mereka pegangi. Kalau dapat disamakan atau dihubungkan dari salah satu bagian-bagian yang telah lalu, hendaklah mereka hubungan. Kalau tidak, masuklah para perembukkan itu kedalam urusan yang diserahkan kepada kita para ummat.
5. Bagian Kelima adalah urusan-urusan yang diperoleh oleh nash padanya, tetapi bukan untuk ditaflihkan sebagai hadits-hadits yang mengenai urusan adat, makan, minum, perobatan dan yang seumpamanya, yakni nash-nash yang dipandang sebagai irsyad, bukan undang-undang yang dituntut kita menurutinya.
Maka dalam urusan ini lebih utama kita turuti sepanjang anjuran, selama tidak berlawanan dengan sesuatu ketetapan syara’ atau sesuatu kemuslahatan atau kemafaatan umum dan perseorangan. Demikian juga kita berlaku dalam menghadapi fatwa-fatwa yang diberikan Nabi untuk kepentingan orang seorang, bukan untuk dijadikan syari’at umum dan tidak diperintahkan orang yang menerima fatwa itu menyampaikan kepada orang lain.
Dalam hal tersebut ini tidaklah berhak para penguasa memaksa dan menggagahi rakyat untuk menjalankan anjuran-anjuran itu.
6. Bagian Keenam adalah urusan yang didiamkan syara’. Tidak diperoleh daripadanya keterangan yang menghendaki kita membuatnya dan tidak pila ada keterangan-keterangan yang menghendaki kita meninggalkannya.
Urusan yang tersebut ini, itulah urusan yang Allah SWT berdiam diri untuk menjadi rahmat dan keinginan para hamba.
Maka tidak boleh seseorang memberatkan orang lain mengerjakannya, atau meninggalkannya secara keagamaan.
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Hal. 91-95

C. PENETAPAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATANAN SOSIAL
Penetapan hokum Islam pada hakekatnya ada pada Allah SWT. Karena Dia adalah pencipta umat manusia, berikut produk-produk hokum yang mengatur kehidupan mereka. Juga ada pada Rasul-Nya Muhammad SAW sebagai manusia pilihan yang diutus oleh Allah untuk menerangkan norma-norma tersebut kepada umat manusia.
Sebagaimana diketahui secara eksplisit, nash-nash Al-Qur’an itu kebanyakan bersifat mujmal (global), meski ada juga bersifat muqayyat (oarsial). Teks-teks As-Sunnah pun, ada pada posisi yang sama. Ada yang emplisit (zhahir), ada pula yang implicit (maknawi). Jika teks nash bersifat mujmal dan dan maknawi, maka diperlukan kajian-kajian ijtihadi sebagai penjabarannya. Sekaligus menjadi jawabannya atas berbagai persoalan yang belum tersentuh oleh kedua sumber utama ini.
Jika merujuk pada subyek penetapan hukumnya, para ulama membagi tasyri’ wadh’I samawi (Ilahy) yang otoritas hukumnya dari Allah dan tasyri’ wadh’I (insane) yang otoritas hukumnya dari ijtihad manusia.
Tasyri’ samawi adalah penetapan hokum yng dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat absolute (tidak berubah). Karena tidak ada yang berkompoten untuk mengubahnya kecuali Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan tasyri’ wadh’I adalah penetapan hokum yang dilakukan oleh para mujtahid, baik mujtahid mustambih maupun mujtahid muthahiq. Produk hokum hasil kajian para mujtahid ini menjadi relative dan nisbih atau berubah-ubah sesuai dengan ruang dan waktu manusia.
Selain dari itu, metode penetapan hukum juga merupakn dasar-dasar syari’at hukum atau kaidah-kaidah umum yang ditungkan dalam nash-nash yang ringkas, Padat dan mengandung hukum-hukum tasyr’i. Hukum-hukum tasyr’I adalah hukum yang bersifat umum terhadap kajian-kajian yang masuk kedalam maudlu’nya (konteksnya). Ia terambil dari hasil penelitian hukum syariat yang secara subtansial terkandung didalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Metode penetapan hukum dalam Al-Qur’an dimaksudkan untuk memudahkan manusia dalam memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum yang dihadapi. Perlu ditegaskan bahwa metode penetapan hukum dalam islam tidak dapat dipegangi secara mutlak, kalau tidak ada nash yang member dasar pada kaidah-kaidah itu.
Dengan demikian, mempelajari kaidah-kaidah sebagai metodologi penetapan hukum, dimaksudkan untuk: Pertama, memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang berkaitan dengan materi-materi hukum. Kedua, memahami kaidah-kaidah hukum agar memudahkan penetapan hukum suatu masalah, dengan jalan mengelompokkan kaidah-kaidah itu kedalam sala satu kaidah umum yang bisa diterapkan secara relevan.
Kaidah (kulliyah fiqhiyah) orientasinya mengcakup seluruh cabang maslah hukum yang terjadi dan untuk menetapkan hukum setiap peristiwa, baik yang telah ditunjukkan secara jelas oleh nash maupun yang belum.
Jadi setiap fenomena social yang terjadi menuntut penjelasan yang memadai dan konprehensif. Hal itu berarti fenomena social tersebut dijelaskan melalui sebuah teori social yang sesuai dengan keadaan yang hendak dijelaskan. Artinya, pilihan teori social sangat berkepentingan dalam memberikan ketetapan penjelasan. Tanpa pilihan tersebut, sering kali terjadi penjelasan atas fenomena social tertentu tidak sanggup untuk dijelaskan secara memadai, yang akhirnya penyelesaian yang ditawarkan tidak memiliki makna apa pun. Kenyataan ini sering kali terjadi di Negara-negara berkembang. Rasa rendah diri yang berlebihan untuk menemukan (pilihan) teori social sebagai alat untuk mengalisis setiap fenomena social membuat segenap tafsiran yang mereka lakukan idak mempunyai kekuatan untuk menjadi sebuah alternative penyelesaian masalah secara memadai. Hal ini karena pilihan paradigmatic yang digunakan untuk menganalisis fenomena social tersebut tercabut dari akar masalah sesungguhnya, apalagi ketika teori social yang tidak digunakan tidak signifikan untuk menjelskan fenomena tersebut dan dipaksakan untuk digunakan.
Penerapan hukum yang bersifat abstrak terhadap perkara yang amat konkrit itu, melibatkan tiga unsure utama: unsure hukum yang dijadikan acuan, baiak tertulis maupun tidak tertulis; unsure manusia, yakni hakim dan pihak-pihak yang berperkara; dan unsure materil, diantaranya biaya perkara. Titik temu ketiga unsure itu terjadi dalam suatu interaksi yang disebut sebagai peristiwa hukum, melalui proses yang bertahap: penerimaan, pemeriksaan, penyidangan, pemutusan, dan penyelesaian perkara. Semua tahapan itu dilakukan berpatokan pada ketentuan hukum prosedur, dalam hal ini hukum acara perdat. Produk dari interaksi itu adalah amar putusan, sebagai keputusan pengadilan dalam hal ini dilakukan oleh majelis hukim. Penerapan hukum yang demikian menunjukkan suatu cara kerja yang mencerminkan penggunaan cara berpikir dedukatif. Cik Hasan Bisri: Pilar-pilar Penelitian Islam dan Pranata Sosial: Hal. 210


D. PEMAHAMAN TULIS SECARA SOSIOLOGI
Manusia sebenarnya diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa sebagai makhluk yang sadar. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari kemampuannya untuk berfikir, berkehendak dan merasa. Dengan fikirannya manusia mendapatkan pengetahuan (ilmu), dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya, dan dengan perasaanya manusia dapat mencapai kesenangan. Saran untuk memelihara dan meningkatkan ilmu pengetahuan dinamakan logika, sedangkan sarana-sarana untuk memelihara serta meningkatkan pola perilaku dan mutu kesenian, masing-masing disebut etika dan estetika. Apabila pembicaraan dibatasi dengan logika, maka hal itu merupakan ajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran.
Maka dari itu dalam pemahaman tulis secara sosiologi maupun dalam kaijian hukum sosiologi boleh dikatakan masih langka dilakukan oleh ahli-ahli fiqh maupun para ahli sarjan sosiolog. Untuk itu dalam penjelasannya bahwa fiqh hendaknya dipahami sebagai upaya hasil interaksi penerjemahan ajaran wahyu dan respon fiqh terhadap persoalan sosio-politik, sosio kultur yang dihadapinya. Sebelum jauh mengambil sebuah ringkasan tentang pemahaman tersebut diatas, perlu kajian dalam mengetahui karakteristik dalam memperoleh suatu ilmu pengetahuan yaitu dengan cara melukiskannya secara konkrit. Untuk memperoleh gambaran yang sederhana dari suatu ilmu, paling sedikit diperlukan criteria sebagai berikut, antara lain:
a. Pertama-tama adalah perlu merinci ilmu social tersebut secara konkrit. Artinya, secara lebih tegas adalah apa yang menjadi pusat perhatian para ahli dan para sarjana yang mengkhususkan diri pada suatu ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya, para ahli sosiologi tidak akan memusatkan perhatiaanya terhadap setiap aspek kehidupan keluarga, yang terutama disoroti adalah pola-pola hak dan kewajiban dari setiap warga keluarga, perubahan pada angka-angka perkawinan atau perceraian, perbedaan pola karir ayah dan anak-anak laki-laki ayah, dan lain sebagainya. Dengan menentukan hal-hal tersebut, maka akan dapat ditentukan masalah-masalah ilmiah yang khusus atau variable tergantung dari suatu ilmu pengetahuan tertentu.
b. Selanjutnya adalah penting sekali untuk merinci apa yang dianggap sebagai sebab-sebab khusus dari variable tergantung. Misalnya apabila seorang sosiolog menelah angka-angka dan derajat terjadinya perceraian, maka mungkin dia akan mencari keterangan tentang laju urbanisasi, hubungan antar suku bangsa, hubungan antar agama, perkawinan antar kelas, dan lain sebagainya. Dengan demkian maka diusahakan untuk mencari variable bebas yang pokok.
c. Dengan demikian maka pusat perhatian suatu ilmu pengetahuan dapat dirinci dengan mengemukakan variable bebas dan variable tergantung. Akan tetapi hal ini belum lengkap apabila tidak ada susunan yang teratur dari variable tadi yang lazim dinamakan keteraturan logika (logical-ordering). Keteraturan logika tadi kemudian akan menghasilakan hipotesa-hipotesa yang merupakan perumusan tentang kondisi-kondisi dalam mana diduga bahwa variable tergantung akan berubah atau bahkan tidak berubah. Apabila hipotesa-hipotesa tadi disusun kembali kedalam kerangka yang mantap, maka kerangka tersebut dinamakan model, yang dapat dianggap sebagai kerangka acuan.
d. Yang kemudian diperlukan adalah pengetahuan tentang tekhnik-tekhnik apakah yang lazim dipakai oleh masing-masing ilmu pengetahuan untuk mndapatkan kebenaran atau untuk mencapai sasarannya. Hal ini mengcakup metode dan tekhnik penelitian dari ilmu tersebut.
Soekanto, Soerjono. Prof. Dr. SH., MA : Sosiologi Suatu Pengantar Hal. 14

Dalam mememah sosiologi dalam hukum islam yang dengan cara tertulis maka perlu ada pengkajian lebih mendasar yakni menyangkut tentang penelitian sosiologi dalam hukum Islam, penelitian sosiologi dalam hukum Islam boleh dikatakan masih langka dilakukan oleh ahli-ahli fiqih sebagaimana yang dijelaska sebelumnya. Dalam penelitian sosiologi sedikit akan menjelaskan kemungkinan penrapan tema-tema penelitian hukum sosiologi kedalam hukum Islam.
1. Penelitian Efektifitas Hukum dalam Hukukm Islam
Penelitian efeksitas hukum dalam penelitian hukum umum ingin melihat hukum terwujud atau tidak dalam perilaku hukum masyarakat, dengan memperbandingkan antara idealitas hukum dalam suatu undang-undang atau peraturan lainnya dengan realitas hukum masyarakat.
Jika dalam temuan atau hasil penelitin ternyata perilaku hukum masyarakat sesuai dengan idealitas hukum dan undang-undang atu peraturan lainnya, berate perilaku hukum masyarakat mencermikan perilaku ideal yang telah ditetapkan dalm undang-undang atau peraturan lainnya. Berarti pula, terdapat sejumlah factor pendorong (penunjang) berlakunya ukum dalam masyarakat tersebut. Factor-faktor penunjang ersebut dapat berwujud motif dan gagasan, seperti factor kepentingan sendiri, sensitive terhadap sanksi, tangapan terhadap pengaruh social dan factor kepatuhan.
Factor-faktor tersebut antara lain masyarakat belum atau tidak memahaminya, bertentangan dengan nilai-ilai serta norma-norma yang ada, pada anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan yang ada (vested interest) cukup kuat untuk menolak perubahan dan resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar daripada jaminan social dan ekonomi yang bisa diusahakan.
Dengan ditemukan sejumlah factor pendukung dan kendala terhadap efektifitas berlakunya hukum islam dalam masyarakat tersebut, akan diambil tindakan-tindakan konstruktif agar idealitas hukum berbagai peraturan itu berlaku secara efektif dan perilaku hukum masyarakat betul-betul sesuai dengn tujuan diciptakannya suatu peraturan.
2. Penelitian Dampak Hukum dalam Hukum Islam
Penelitian dampak hukum dalam hukum positif bertujuan untuk meneliti dampak berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, baik dampak itu bersifat positif maupun bersifat negative, dengan menggunakan pendekatan fungsionalisme structural dan perubahan social. Dengan demikian, jelas bahwa penelitian dampak hukum dalam hukum positif adalah menelaah apa saja dampak positif dan dampak negative atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Penelitian dampak hukum ini, dapat dipergunakan dalam penelitian hukum islam (fiqh), terutama hukum fiqh yang telah dijadikan undang-undang positif. Sbagai contoh: misalnya, peneliti bermaksud meneliti pengaruh undang-undang No. 1 tahun 1974 (terhadap perkawinan dan perceraian). Diketahui olehnya bahwa dalam masyarakat terdapat pranat-pranata/lembaga-lembaga, dan dari sekian banyak pranata/lembaga perkawinan dan perceraian merupakan termasuk didalamnya merupakan sub-sistem atau bagian dari pranata kekerabatan.
3. Penelitian Struktur Hukum dalam Hukum Islam
Dalam penelitian struktur (lembaga) hukum dalam hukum positif, terutama ingin menelah tentang verifikasi pola-pola hukum yang dilkukan dalam bentuk-bentuk formal tertentu kedalam tingkah laku-tingkah laku yang nyata dati orang-orang yang menjalankannya. Tingkah laku-tingkah laku yang nyata inilah yang ingin diteliti. Dengan demikian, dalam menelaah perilaku hukum dari lembaga-lembaga, yang perlu diprhatikan adalah rumusan normative formal dari lembaga yang bersangkutan yang merupakan landasan bagi perilaku mereka. Atau dengan kata lain, penelitian-penelitian lembaga-lembaga adalah penelitian terhadap perilaku hukum dari lembaga-lembaga tersebut yang dikerjakan leh orang-orangnya yang mewakili lembaga-lembaga itu yang didasarkan rumusan normative aturan dari lembaga yang bersangkutan.
Dalam operasionalnya, penelitian in akan melekat dan memfrifikasikan pola-pola hukum yang telah dikukuhkan dalam bentuk-bentuk formal ke dalam tingkh laku-tingkah laku aparat-aparat yang menjalankannya. Tingkah laku-tingkah laku aparat yang nyata itulah yang menjadi pokok bahasan penelitian ini, semua ini akan melibatkan lmbaga yang mempunyai lima variable yaitu;
a. Kepemimpinan lembaga
b. Dotrin lembaga
c. Program lembaga
d. Sumber-sumber daya lembaga dan
e. Struktur intrn lembaga
atas pengertian dari lembaga (berdasarkan variable-variabel), penampilan perspektif kelembagaaan dalam penelitian sosiologi hukum terhadap lembaga menjadi relevan untuk melihat pokok bahasan sosiologi hukum.
4. Penelitian Identifikasi Hukum dalam Hukum Islam
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa titik tolak penelitian identifikasi hukum positif adalah bahwa hukum itu berlangsung di dalam kejidupan bersama atau kehidupan social. Penelitian identifikasi hukum adalah penelitian untuk menelaah hukum suatu masyarakat yang dibedakan identifikasi hukum tertulis dan identifikasi huum tidak tertulis.
Sekalipun hukum dalam masyarakat dibedakan, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, semuanya pada dasarnya merupakan gejala social, yaitu dalam perilaku warga masyarakat.

E. PENUTUP
Jelaslah, bahwa sosiologi merupakan ilmu sosial yang obyeknya adalah masyarakat. Dan diketahui pula bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena memenuhi segenap unsure-unsur ilmu pengetahuan yang ciri-ciri utamanya adalah:
a. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
b. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsure-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori.
c. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama.
d. Bersifat non-etis yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta tertentu, akan tetap tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta terebut secara analitis.
Dengan demikian, Sosiologi dalam Hukum Islam (fiqh, syar’ah) tidak saja berfungsi sebagai hukum sekuler, tetapi juga berfungsi sebagai nilai-nilai normative. Hukum Islam juga berusaha mengatur tingkah laku manusia (umat Islam) sesuai dengan citra Islam. Sebagai norma ia memberikan legitimasi ataupun larangan-larangan tertentu dengan konteks spiritual.
Penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah system social khususnya pada kadar aturan hukum bagi umat muslim dapat dijalankan sehingga mampu mendorong kita dalam mengatasi persoalan-persoalan yang mendasar

Referensi
1) Bacaan Lain Ash Shiddieqy, Hasbi. T. M. Prof. Dr :Pengantar Hukum Islam. Cet. VI, Jld II. Jakarta: Bulan Bintang. 1981.
2) Husin Al-Munawar, Said Agil. Prof. Dr. MA : Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Cet. I. Jakarta: Penamadani. 2004.
3) Soekanto, Soerjono. Prof. Dr. SH., MA : Sosiologi Suatu Pengantar. Eds Baru 4., Cet. XVIII. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
4) Zeitlin, Irving M : Memahami Kembali Sosiologi, Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Cet. II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. 1998.
5) Dauverger, Maurice : Sosiologi Politik. Eds. I, Cet. X. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
6) Tebba, Sudirman : Sosiologi Hukum Islam. Cet. I. Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003.
7) Khalaf, Abdul Wahab. Prof. Dr : Ilmu Ushulul Fiqh. Cet. II. Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
8) Santoso, Heri dan Listiyono Santoso: Filsafat Ilmu Sosial, Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-ilmu Sosia. Cet. I. Yogyakarta ,Gama Media 2003
9) Mu’allim, Amir: Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Eds I. Cet. II. Yogyakarta, UII Press Indonesia. 1999,2001
10) Bisri, Cik Hasan: Pilar-pilar Penelitian Hukum dan Pranata Sosial. Eds I. Cet I. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. 2004.

Bacaan Lain:

1) Al-Mawarid, Jurnal Hukum Islam: Hukum Islam dan Isu-isu Kontemporer. Eds. VII. Yogyakarta: PT Verisia Yogya Grafika. 1998
2) Al-Mawarid, Jurnal Hukum Islam: Fiqh Siyasah dan Siyasah Syar’iyyah. Eds. VI. Yogyakarta: PT Verisia Yogya Grafika. 1998
3)
By Edy

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com